![]() |
Foto : Kasus Manipulasi Data untuk Seleksi PPPK Tahap II Aceh Singkil |
Aceh Singkil | detiknewsatjeh.my.id
Sebelumnya, viral di media telah menerbitkan berita berjudul "Diduga Ada Manipulasi Data untuk Seleksi PPPK Tahap II Aceh Singkil Bisa Dipidana, Kelulusan Dibatalkan", yang terbit pada 14 Mei 2025.
Sehubungan dengan itu, saat berita tersebut diterbitkan, Kepala Sekolah UPTD SPF SMP Negeri 1 Singkil Utara diketahui sedang melaksanakan ibadah haji pada musim haji 1446 H / 2025.
Berdasarkan Surat Keterangan Aktif Nomor: 800/195/2024, disebutkan bahwa salah satu peserta seleksi berinisial AF aktif mengajar secara terus-menerus selama 3 tahun 11 bulan, terhitung sejak 1 Januari 2021 hingga 30 November 2024.
Namun, tim media ini melakukan investigasi langsung ke UPTD SPF SMP Negeri 1 Singkil Utara pada Kamis, 24 Juli 2024, untuk mengklarifikasi kebenaran informasi tersebut. Dalam wawancara langsung, Kepala Sekolah berinisial S memberikan keterangan berbeda dari yang tertulis dalam surat keterangan aktif.
"Awalnya begini, dia mendaftar tahun 2022. Saya bilang saat itu tidak ada jam (mengajar). Tapi kalau Ibu mau datang ke sekolah, silakan saja, tidak jadi masalah. Kebetulan, pada akhir 2022 atau awal 2023, saat ada jam kosong, barulah dia mulai mengajar," ujar Kepala Sekolah Singkil Utara.
Terpisah, awak media juga mengonfirmasi kepada salah satu guru honorer yang mengaku satu angkatan dengan AF. Lewat pesan WhatsApp, guru tersebut—yang enggan disebutkan namanya—mengaku bahwa dialah yang lebih dulu masuk ke sekolah tersebut.
"Sekitar bulan 7 atau 8 tahun 2023 saya mulai masuk. Kalau AF itu saya tidak tahu pasti kapan mulai mengajarnya. Tapi yang pasti saya duluan masuk, selisihnya hanya beberapa minggu," ungkapnya.
Melihat banyaknya kejanggalan dalam kasus pengangkatan PPPK Tahap II ini, berbagai pihak, khususnya KemenPAN-RB dan Aparat Penegak Hukum (APH), diminta untuk turun tangan menyelidiki dugaan pelanggaran tersebut.
Pasalnya, jika benar Kepala Sekolah menerbitkan Surat Keterangan Aktif fiktif, maka hal ini dapat dijerat dengan Pasal 264 KUHP tentang pemalsuan dokumen oleh pejabat atau pegawai negeri, yang ancamannya mencapai 12 tahun penjara. Selain sanksi pidana, kelulusan PPPK yang bersangkutan juga dapat dibatalkan.